Ketika Kampung Betawi Dikepung Calon Pemimpin dari Putra Daerah Lain
MASYARAKAT Betawi, yang secara historis menjadi bagian penting dari identitas Jakarta, kini hanya menjadi penonton di pesta demokrasi yang diadakan di kampung mereka sendiri
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)
Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pilkada Jakarta tahun 2024 terasa sangat berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jakarta, yang tengah bersiap menghadapi perpindahan status dari Ibukota negara ke Ibukota Nusantara (IKN), semakin memperlihatkan perubahan besar dalam struktur dan dinamika politiknya.
Dengan disahkannya UU Daerah Khusus Jakarta pada April 2024, perhatian beralih pada nasib Jakarta pasca kehilangan status ibukota. Sayangnya, undang-undang ini tidak membahas hal yang sangat penting, yakni keharusan putra daerah atau tokoh Betawi untuk menjadi pemimpin di kota yang telah lama menjadi kampung halaman mereka.
Ironisnya, Pilkada Jakarta 2024 menegaskan betapa lemahnya representasi putra asli Betawi dalam kontestasi politik di kampung mereka sendiri. Dari tiga pasangan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub), tidak ada satu pun yang berasal dari kalangan putra Betawi.
Pasangan nomor urut 1, Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO), berasal dari Bandung dan Tegal, Jawa Tengah. Pasangan nomor urut 2, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana (Dharma-Kun), masing-masing berdarah Toraja, Sulawesi Selatan, dan keluarga atau putra dari Abyoto Hadiprodjo yang kemungkinan juga bukan keturunan Betawi. Pasangan nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel), berasal dari Kediri, Jawa Timur dan Minangkabau, Sumatra Barat.
Pertanyaannya yang muncul adalah: Mengapa partai politik (parpol) tidak mencalonkan satu pun putra daerah Betawi sebagai gubernur atau wakil gubernur di Pilkada Jakarta 2024? Mengapa hal ini berulang dari satu periode ke periode berikutnya? Apakah tidak ada peluang bagi putra daerah atau tokoh Betawi untuk mencalonkan diri melalui jalur independen?
Masyarakat Betawi, yang secara historis menjadi bagian penting dari identitas Jakarta, kini hanya menjadi penonton di pesta demokrasi yang diadakan di kampung mereka sendiri. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam dan pertanyaan serius: Sampai kapan putra daerah akan terus tersingkir dari kepemimpinan di Jakarta?
Jika kita bandingkan dengan daerah lain seperti Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Aceh, ketidakadilan ini terlihat jelas.
Di Papua, undang-undang mensyaratkan bahwa kepala daerah harus berasal dari putra daerah. Di Yogyakarta, Sultan secara otomatis menjadi pemimpin tanpa melalui pilkada. Aceh bahkan memiliki partai politik lokal yang secara langsung mewakili aspirasi daerahnya.
Dalam konteks ini, seharusnya Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) juga mengakomodasi calon pemimpin putra daerah atau tokoh Betawi. Namun, Jakarta—dengan sejarah panjang dan identitas budaya Betawi yang kuat—justru tidak memiliki aturan yang melindungi hak putra daerah untuk memimpin kota ini.
Kondisi ini sangat ironis dan miris. Masyarakat Betawi hanya bisa menjadi pendukung dari pinggir lapangan, sementara kampung halaman mereka dipimpin oleh orang-orang dari daerah lain.
Apa yang harus dilakukan masyarakat Betawi dalam situasi ini? Haruskah ada gerakan untuk memperjuangkan hak mereka dalam politik Jakarta? Ataukah mereka harus berdiam diri, menunggu perubahan yang mungkin tidak pernah datang? Atau, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang! Wallahu a'lam bish-shawab.